Hedonisme vs Eudaimonisme ala Aristoteles

Bertahun-tahun hidup di bumi pertiwi, kita pasti dikelilingi dengan orang yang memiliki pikiran dan pandangan yang berbeda-beda. Pemikiran dan pandangan tersebut terjadi dalam banyak hal dan hal itu sendiri ditanggapi dengan pemikiran dan pandangan yang berbeda pula. Salah satunya adalah tentang bagaimana cara meraih kebahagiaan.





Pernah nggak sih kita memikirkan tentang apa itu kebahagiaan dan cara meraihnya?
Ternyata kita tidak perlu merebus otak kita dahulu karena sebenarnya para filsuf Yunani klasik telah memikirkan hal demikian sebelumnya.

Kita pasti sering dong denger yang namanya hedonisme, tapi sebenarnya apa sih hedonisme itu?
Jawabannya yaitu hedonisme merupakan filsafat yang memandang bahwa dalam meraih kebahagiaan adalah dengan meraih nikmat sebanyak-banyaknya dan menghindari sakit sekuat tenaga.
Hal ini diungkapkan oleh Aristippos (433-355 SM) ketika menjawab pertanyaan Socrates tentang apa yang menjadi tujuan hidup manusia.

Semua filsuf sepakat bahwa tujuan hidup manusia adalah dengan mencari kebahagiaan, namun sesuai kata pepatah "Banyak jalan menuju Roma" yang artinya segala sesuatu dapat ditempuh dengan berbagai cara, termasuk juga kebahagiaan.

Menurut Aristoteles, pola hidup hedonisme mendorong pola hidup manusia yang seperti binatang; ia menyebut pola hidup ini sebagai "pola hidup ternak" karena hedonisme mengutamakan pemenuhan nafsu manusia dan dalam penerapannya sangatlah memalukan. Pola hidup hedonisme mendorong segala cara untuk mencapai kebahagiaan namun dengan sifatnya yang materialistik. Hal inilah yang menyebabkan hedonisme erat kaitannya dengan konsumerisme.

Filsafat hedonisme ini lalu diselisihi oleh Aristoteles. Dia menganggap bahwa sejatinya kebahagiaan datang selalu terkait dengan nikmat perbuatan baik yang dilakukan. Kunci esensial dalam pemikiran Aristoteles adalah nikmat manusia sejatinya tidak berdiri sendiri melainkan timbul menyertai perbuatan baik. Menurutnya, perbuatan yang baik akan membawa hal yang baik juga, pola hidup inilah yang dia sebut sebagai "Eudaimonisme". Filsafat ini termasuk bagian dari Etika Nikomakea yang ditulis oleh Aristoteles.

Menurut Eudaimonisme, kebahagiaan yang dimaksud bukanlah hanya sekedar perasaan subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional, melainkan lebih mendalam dan lebih objektif menyangkut pengembangan seluruh aspek kemanusiaan suatu individu (moral, sosial, emosional, dan rohani)

Kebahagiaan Eudaimonic sifatnya benar-benar muncul dari dalam individu tersebut dan tidak terpengaruh dari kondisi eksternal individu tersebut. Kebahagiaan Eudaimonic hanya akan didapatkan melalui aktivitas yang sejalan dengan tujuan hati yang sebenarnya. Ia percaya bahwa manusia kodratnya adalah baik, manusia yang buruk hakikatnya melanggar kodrat yang diberikan Sang Pencipta karena akal dianggap sebagai adalah anugrah terhebat. Orang yang berlaku buruk maknanya ia hilang akal.

Menganut pola hidup bukan berarti tidak mencintai diri sendiri, justru ia yang mencintai dirinya sendiri adalah ia yang berbuat baik kepada orang lain. Ia sedang mengumpulkan aura positif dalam dirinya. Kita sebagai manusia sejatinya adalah tentang bagaimana caranya agar bisa bermanfaat untuk orang lain.

Belum ada Komentar untuk "Hedonisme vs Eudaimonisme ala Aristoteles"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

adnow